Percayalah,
lelah ini hanya sebentar saja,
jangan menyerah,
walaupun tak mudah meraihnya
#Teruslah bermimpi by Ipang
#Teruslah bermimpi by Ipang
Kaki ini
mulai merasakan kejamnya pasir berbatu di tanah para dewa. Seperti seekor sapi
yang dipacu untuk menggiling sagu, udara dingin Mahameru memaksa kami terus melangkah jika
kami tidak ingin mengalami hipotermia. Ego dan impian menginjakkan kaki di
tanah tertinggi bersama angkatan kami Wulung Adri memompa semangat saya untuk
berjalan. 15 langkah berjalan, 3 tarikan nafas istirahat berusaha untuk konstan
dan menjaga ritme pernafasan agar tubuh ini bisa bertahan.
Berjalan
dipasir samahalnya berpacu dengan waktu, gerakan lambat akan membuatmu berjalan
di tempat. Teori 15 3 hanya bertahan sekian meter saja, selebihnya berjalan
sekuatnya. Rombongan kami termasuk yang awal memulai perjalanan, awalnya kita
di depan namun kemudian beberapa orang melewati kami, sampai pada ahirnya kami
menjadi yang terbelakang. Iya saya dan dita berada paling belakang. Kami berdua,
dua cewek yang melangkah tertatih menuju puncak mahameru.
Dorongan
untuk turun dan menyudahi perjalanan beradu dengan dorongan untuk tetap
melanjutkannya. Entah itu setan, malaikat, akal sehat, atau ego bertengkar
hebat dalam pikiran kami. Dita sudah mulai merasa berkunang, langkah kakinya
mulai gontai, kami berdua mengalami kedinginan yang superhebat, baju rangkap 3
ini ternyata tak banyak membantu. Menunjuk batu besar di atas, saya mengajak
dita untuk istirahat disana. Sekitar 7m di atas kami, namun ternyata tidak
mudah untuk menggapainya. Batu itu menjadi benteng kami dari angin, sebuah
benteng yang dipastikan akan roboh ketika mendapat serangan musuh karena
ukurannya yang tak sepadan. Kami saling berpelukan berharap bisa saling menghangatkan
satu sama lainnya. Dinginnya malam membuat saya mulai ngomong ngelantur gak
jelas, sesekali dita menepuk nepuk pundak saya dan mengembalikan kesadaran
saya.
Sepertinya
dingin ini hanya milik kami berdua, kami sudah tak melihat pendaki lain,
rombongan kami 3 orang, Aris, Budi, dan Bayu kami tak tau mereka dimana.
Melihat betapa curamnya pasir yang telah kami lewati dan melihat cahaya senter
di atas kami yang hanya terlihat titik titik kecil berpendar, sepertinya kami
sudah setengah jalan. Keputusan harus diambil, lanjut atau kembali dengan
konsekuensi masing masing . Memori perjalanan untuk sampai disini merajut dalam
ingatan kami, mencoba mempengaruhi keputusan yang akan kami ambil.
***
Selasa,
14 Oktober 2014. Kami angkatan Wulung Adri (Saya, Dita, Bayu, Budi, Aris,
Ahmad) melakukan perjalanan dalam bentuk sukur kami karena telah menyelesaikan
pendidikan di Politeknik Negeri Semarang. Berangkat menemani kami, Mas Rizky,
Mbak Siska, Ardi, Dani, dan mbak lusiana. Kereta Matramaja berangkat tepat
waktu malam ini, pukul 22.30 WIB kami bertolak dari stasiun poncol Semarang
menuju Stasiun Malang Baru.
all team di Stasiun Poncol Semarang |
Kami
terbagi kedalam beberapa gerbong yang berbeda, 2, 5, dan 6. Gerbong saya,
gerbong enam ternyata lebih ramai, sebagian besar berkumpul disini, saya
berhadapan dengan Budi. Mengeluarkan beberapa isarat tersurat terhadap
penumpang di samping saya ternyata menuai hasil, Budi berganti posisi dengannya.
Ini membuat kami lebih leluasa untuk beristirahat karena tak ada rasa sungkan
di antara kami.
Harapan
untuk beristirahat sepanjang perjalanan sepertinya menjadi tabu, budi dengan
keusilannya tidak mengijinkan saya berstirahat. Olokan dan candaan dari teman
teman menjadi kopi yang akan mengganjal mata dan membuat saya tetap terjaga.
Kereta mulai sunyi ketika suara kami lah yang tersisa menggema di gerbong.
Sampai ahirnya pukul 03.00 WIB benar benar sunyi karena kami mulai tumbang satu
persatu.
15 Okt
2014 Pukul 09.20 WIB kami sampai di Stasiun Malang Baru, molor 2,5 jam dari
jadwal seharusnya. Dipintu keluar stasiun, kang jaka sudah menyambut kehadiran
kami. Soto panas depan stasiun menjadi
menu pembuka, obat anti lengket usus. Kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar
Tumpang, menggunakan angkot berwarna biru yang sebelumnya telah kami hubungi.
Perjalanan membutuhkan waktu 30 menit, pak surbani menjadi juru kemudi kami,
alunan lagu dangdut bukak sitik jos mengiringi perjalanan.
Inggit
dan Widi, teman kami dari Purwokerto telah sehari menunggu di base camp pasar
tumpang. Kehadiran kami menandakan usai sudah penantian mereka. Total personil
14 orang, 6 orang angkatan kami, 2 alumni kami (kang Jakan, Mas Rirky), 2 teman
kuliah ( Ardi, Dani ), 1 teman mapala UNES KSG ( mb’ Lusiana ), 1 teman mapala
UNDIP PALAKA (Mb’ Siska), 1 teman mapala MIPL AMIKOM purwokerto (Inggit) dan
pasangannya (Widi). Semua personil mulai menyiapkan diri untuk pendakian,
sebagian mulai berganti baju dan sepatu, sebagian lagi berbelanja perbekalan di
pasar tradisional tumpang, dan sisanya mengurus birokrasi yang harus diselesaikan
nanti ketika sampai di Ranupane.
Bakda
duhur, pukul 12.20 WIB dua jip, orange dan hitam melaju mengantarkan kami untuk
sampai di Ranupane. Di sepanjang perjalanan kami di suguhkan indahnya
pemandangan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Saya dan kang jaka
memilih duduk di depan jip orange, mencoba menikmati indahnya alam ini dengan
sensasi yang berbeda. Terkadang saya merasa harap harap cemas karena hand rem
jip kami mengalami sedikit masalah, beberapa kali kami lompat turun dan berlari
mencari pengganjal ban agar jip tidak meluncur mundur. Tidak berbeda jauh
dengan jip yang kami tumpangi, jip hitam didepan ternyata mogok. Barang barang
sekaligus penumpangnya di oper ke jip yang kami tumpangi. 1 jip dengan kapasitas
20 orang beserta barang bawaannya ahirnya sampai di Ranupane. Standar waktu
yang diperlukan untuk sampai di sini adalah 2 jam, kami menempuhnya dengan 2,5
jam.
Setelah
semua perijinan kami lakukan, ahirnya pukul 15.30 WIB kami berada di bawah gerbang
masuk gunung semeru. Pendakian menggapai summit di mulai, kami berjalan
mengikuti jalan setapak berdebu untuk memasuki kawasan hutan. Kacamata dan
slayer ini sungguh membantu, setidaknya debu ini tidak menjadi camilan kami
sepanjang perjalanan. Jalan yang kami lewati tidak begitu menanjak, jalan
setapak yang cukup jelas dan menyisir bukit, dari satu punggungan ke punggungan
bukit yang lain. Sesekali kami berhenti dan berbagi jalan dengan pendaki lain
ketika berpapasan.
1 jam
untuk sampai di pos 1, kami melewati area Landengan Dowo dengan ketinggian
2300mdpl. Disini menjumpai penjual gorengan dan semangka, bagaikan simbiosis
mutualisme masing masing kubu sama diuntungkannya. Kami membutuhkan camilan
berkalori untuk mengganjal perut sedang bapaknya membutuhkan uang untuk
menafkahi keluarga. Satu gorengan atau satu potong semangka sama sama dihargai Rp. 2500, kami
tinggal memilih mana yang ingin kami makan. Jangan di bayangkan gorengan krispy
anget di sini adanya gorengan dingin namun tak kalah nikmatnya.
Lapar
sudah tertunda perjalanan berlanjut, menuju pos 2 dan pos 3 jalan masih serupa
dengan yang sebelumya. Namun langit sudah berubah warna, headlamp mulai
terpasang di masing masing kepala kami. Sekarang kami berada di Watu Rejeng
dengan ketinggian 2350mdpl, sehabis ini baru Ranu Kumbolo. Setengah jam sampai
di pos 2 dan satu jam untuk pos 3.Terkadang sedih juga melihat beberapa paving
terpasang, campur tangan manusia membuat jalur ini jelas terlihat. Sepertinya
bahkan sepeda bisa digunakan untuk menggapai ranukumbolo.
Berjalan
menuju pos 4, pertama tama kami harus mendaki tanjakan yang berada persis
disamping pos 3. Lumayan untuk mengeluarkan keringat ditengah udara dingin. Ini
adalah tanjakan pertama kami setelah sebelumnya jalan yang kami lalui bisa
dikatakan landai. Jalan kembali menyisir, terkadang juga menurun, masih di
bagian kiri bukit kami harus melewati pos 4 baru Ranu Kumbolo. Senyum kami keluar
ketika melihat cahaya yang terpancar dari dalam doom, ranu kumbolo teriak kami.
Semangat kami menyatu dengan udara dingin, kaki kaki kami tak hentinya berjalan
mendekatinya, tempat camp kami, Surga gunung semeru Ranu Kumbolo.
1 jam
sampai di pos 4, dari sini kami menuruni bukit dan memasuki ranu kumbolo, kami
menyisir sebelah ranu mencari camp yang tepat untuk 4 tenda kami.
Malam
pertama kami habiskan di Ranu Kumbolo. Udara begitu dingin, menjalankan
kewajiban untuk beribadah menuai banyak godaan. Wudhu dan membasuh beberapa
anggota tubuh dengan air bak di hujani ribuan jarum. Sedangkan Teh hangat terasa
begitu lezatnya ketika melewati tenggorokan. Beberapa dari kami mulai
memposisikan diri di dalam tenda dan membekali diri dengan sleeping bag, saya
menyusul setelah menyelesaikan masakan orak arik telor. Menunggu rombongan yang
belakang datang, tak terasa membuat kami ketiduran, alhasil sia sialah masakan
saya malam ini.
ranukumbolo |
Pagi
ranu, 16 oktober 2014 pukul 05.00 WIB langit semeru mulai bercahaya. Kami memulai
aktifitas pagi kami, semua di sibukkan dengan kegiatan masing masing. Tempe
asam pedas, tahu goreng, kerupuk menjadi menu pilihan pagi ini, sedangkan mie
rebus di coret karena tumpah, saya di bantu dita dan aris untuk menyelesaikan
semua menu itu. kami mulai memanggil rekan rekan yang lain ketika hidangan
benar benar siap kemudian menyantapnya bersama sama. Kenikmatan yang terlahir
karena kebersaman walaupun menu seadanya.
Inggit
dan Widi melakukan preweeding di hadapan ranu kumbolo, membuat kami yang
melihatnya ikut merasakan kebahagiaan sekaligus iri. Kami hanya bertanya tanya
dalam hati, kapan giliran kami hehe.
Mempacking
barang barang kami bersiap menaikki tanjakan cinta. Dibuka dengan doa kami siap
melanjutkan perjalanan. Dita dan mbak lusiana berencana mencoba peruntungan
dengan menyimpan sebuah nama di hati kemudian berjalan tanpa menengok ke
belakang. Sepertinya godaan terbesar adalah kami, kami ibarat setan yang selalu
membisikkan kata kata tengok tengok dan tengok, namun iman mereka mampu
bertahan sampai finis yaitu puncak tanjakan cinta.
Di
belakang tanjakan itu, membentang luas oro oro ombo yang jika musim hujan akan
sangat cantik dengan ribuan bunga berwarna unggu. Kami kurang beruntung, bunga
bunga ini telah kering dan berwarna coklat, namun keindahan dan kemegahan oro
oro tak berkurang sedikitpun. Kami hampir tidak terlihat karena tinggi setiap
batangnya melebihi tinggi kami.
Di
hadapan kami, kami melihat pepohonan pinus bergoyang akibat fatamorgana yang ditimbulkan
teriknya sang surya. Cemoro kandang 2500mdpl, dengan beberapa pendaki yang
sedang beristirahat di sana, terlihat juga semangka segar yang berteriak teriak
“ makan aku makan aku “, yah penjual semangka dan gorengan ini ternyata sampai
juga disini. Tidak di pungkiri keberadaanya sangat di nantikan, apalagi
semangka merah yang selalu meledek kami. Kami beristirahat sejenak dan
menikmati segarnya buah semangka di antara teriknya matahari di gunung semeru.
Perjalanan
selanjutnya menuju Jambangan 2600mdpl, 3km dari tempat kami istirahat atau
sekitar 2,5 jam berjalan. Kami mulai memasuki fegetasi hutan dan semak, ribuan
semak kering tertata rapi di bawah pohon pohon rindang, jalannya mulai menanjak
namun kostan, bayangan pohon pohon besar ini melingungi kami dari teriknya
matahari dan dengan gratisnya membagi kami oksigen yang segar. Kami harus
melewati 3 sampai 4 bukit untuk sampai di jambangan, burung jalak merah
menyambut ramah kami atau mungkin mereka malah tak memperdulikan kami karena
tidak terlihat keberadaan kami mengganggu mereka.
eidelwis, bunga yang tumbuh di ketinggian |
Eidelwis,
bunga abadi yang hanya tumbuh di ketinggian tertentu ini mulai menghiasi
langkah kami, terkadang saya berada di persimpangan antara menggambil eidelwis
itu atau tidak. Eidelwis itu sudah jatuh dan bukan saya yang memetiknya, di
sisi lain kami memiliki perjanjian tidak tertulis: tidak mengambil apapun
kecuali foto, tidak membunuh apapun kecuali waktu dan tidak meninggalkan apapun
kecuali jejak. Pada ahirnya saya letakkan kembali eidelwis yang telah patah
tadi ke tanah, dan berkata dalam hati “itu bukan milik saya, saya hanya numpang
lewat disini, karna saya ingin belajar dari alam”.
Jambangan
– kali mati 2700mdpl tujuan camp kami selanjutnya berjarak 2km, kami memakan
waktu setengah jam berjalan. Dari sini kami mulai bisa melihat puncak mahameru,
tak ada bukit lagi yang menghalangi
kami menatap mahameru. Jalan menurun melewati sabana pendek kemudian memasuki
pepohonan rimbun, begitu seterusnya sampai 4 kali, baru setelahnya kami
memasuki fegetasi pinus dan sabana eidelwis kalimati.
15.00 WIB
kami sampai di kali mati, berbagi tugas kami para ibuk ibuk mengambil logistik
untuk di olah menjadi menu makan malam, bapak bapak beberapa mengambil air,
mendirikan tenda dan mencari ranting ranting pohon untuk perapian. Menu malam
ini adalah terong balado, telor gimbal, oseng tahu putih, dan tidak ketinggalan
kerupuk. Walaupun masih sore, berada di bawah bayangan pohon membuat kami
kedinginan, kami menggelar matras dan meracik bumbu di bawah sinar matahari untuk
mengurangi rasa dingin itu. Malam ini kami putuskan untuk istirahat lebih awal,
sehabis makan malam dan mempersiapkan kelengkapan untuk mendaki esok, pukul
19.30 WIB kami mulai mencari posisi tidur masing masing.
Pukul
23.00 WIB, kami mulai mengumpulkan kembali semangat kami, walaupun bersembunyi
di balik sleeping bag begitu menggoda iman kami namun kami memilih bangun dan
mempersiapkan diri untuk mendaki. Kami memakai pakaian tempur terhadap dingin,
berjalan di jam segini sama halnya bermusuhan dengan tekanan udara, angin dan
udara dingin. Amunisi harus dipersiapkan, saya sendiri memakai baju rangkap 3
di tutup dengan jaket lapangan, celana rangkap 2, sarung tangan, slayer untuk
menyaring udara yang mengandung H2O dan penutup kepala untuk melindungi telinga
dari dingin.
Mas Rizky
berangkat lebih awal berjalan bersama teman baru yang kami temui di Kali mati
yaitu dari Majusi mapala Jambi. Kami menyusul setengah jam berikutnya, pukul
23.45 WIB setelah berdoa kami berangkat. Tidak semua dari kami ikut naik, mbak
lusiana dan ahmad memilih tinggal dan menjaga tenda.
Menit
menit pertama formasi masih utuh, jarak antar personil masih dekat. Beberapa
menit selanjutnya saya tidak mampu mengimbangi langkah kang jaka sebagai leader
dan mulai perlahan tertinggal jauh. terlalu beresiko berjalan seorang diri,
kami terpecah kedalam kelompok kelompok kecil. Kang jaka, dani, dan ardi adalah
rombongan kami yang paling depan. Dibelakangnya mbak Siska, saya dan Dita, dan
kelompok terahir Aris, Bayu,Budi, Inggit, Widi.
45 menit
menanjak melewati kerkil kecil kemudian pasir, kami sampai di Arcopodo. Bulan
bersinar remang di sebelah kiri, seolah memperhatikan langkah kecil kami.
Langit terlihat begitu dekat tak berjarak, bintang bintang bertaburan dengan
formasi rasi yang indah. Di bawah tidak kalah mengambil peran, pinus pinus
besar berdiri dengan tegak melindungi kami dari hembusan angin. Kombinasi alam
yang indah, yang mampu menciutkan hati, meringkuk dan merasa begitu kecil di
alam ini.
***
jalur menuju puncak, gambar di ambil ketika turun |
PUNCAK,
PUNCAK, PUNCAK, kenangan perjalanan membuatnya memenagkan keputusan ahir saya.
Namun hati ini getir ketika melihat kondisi kami berdua. 17 Oktober 2014 Pukul
05.00 WIB langit timur mulai berwarna semburat orange ke kuningan. Dita membangunkan
tidur saya, kami berdua terdiam melihat fenomena alam itu, alhamdulillah ucap
kami lirih, MATAHARI ahirnya kau datang isak kami dalam sukur.
Kami
kembali berjalan dengan sisa semangat dan tenaga, kami mulai menaiki lagi pasir
Mahameru. Berjalan bersama kami terpisah kanan kiri dan saling memantau satu
sama lain. Menyisir ke sebelah kanan saya berusaha mencari bebatuan berpasir
yang lebih mudah di injak dan keras, ini akan menghemat tenaga yang saya
keluarkan. Di atas kami, kami melihat gundukan berselimut coklat. Kami hanya
menebak nebak isinya, kami pikir itu kerier pendaki yang sengaja di tinggalkan
karena berat, atau mungkin itu orang yang tergeletak karena kelelahan, pikiran
negatif saya berpikir itu mayat pendaki yang hipo dan terpisah dari
rombongannya. Dita mendekati dan memastikannya, ternyata dibawahnya bersembunyi
rekan kami Aris, Budi dan Bayu (saya tersenyum lega). Kami pikir mereka telah
meninggalkan kami berdua, tapi ternyata mereka menunggui disini.
Kami berusaha membangunkannya, mereka justru menyuruh kami berjalan terlebih dulu. Saya dan Dita kembali berjalan karena kami tau mereka akan jauh lebih cepat dibanding kami. Saya menemukan pola di jalur yang saya lalui. Berjalan zig zag dapat mengurangi prosotan yang akan terjadi jika saya berjalan lurus, dan ini akan mempercepat langkah kaki.
“Zig zag,
zig zag”, saya meneriakkannya kepada Dita. Dia mulai berjalan di belakang saya.
Saya beristirahat ketika dia beristirahat kemudian kembali berjalan ketika
melihatnya mulai mendaki, kami melakukan hal yang sama walau terpisah jarak. Terus
seperti itu berjalan dan menengok kebelakang, sampai sebuah batu besar
menghalangi pandangan kami. Teriakan saya tidak mendapatkan respon darinya,
harus berada lebih atas lagi untuk dapat melihatnya asumsi saya. Saya kembali
berjalan zig zag dan keatas, dari pempat saya berdiri saya melihatnya begitu
kecil. Kami sudah tidak dapat berkomunikasi satu sama lain, udara mengenyahkan
suara kami.
Saya
berada dipersimpangan, berjalan atau menunggu Dita. Saya mulai merasa kedinginan ketika menunggu
dita namun meninggalkannya tidak mungkin, tiba tiba saya teringat 3 rekan saya
yang lainnya berada dibawah kami berdua. Dita aman pikir saya, dan saya
melanjutkan kembali langkah saya, membuat pergerakan yang akan menghangatkan
tubuh ini. Beberapa kali saya menengok kebelakang, berusaha mencari keberadaan
dita dan 3 lainnya. Saya tak melihat seorang pun dalam kubah pasir ini, sepanjang
saya melihat hanya pasir dan bebatuan. Saya merasa benar benar sendiri.
Diam
merancukan pikiran saya, dan membuat saya berkhayal keantah berantah. Saya
terus berjalan dan berjalan, setidaknya aktifitas ini mengisi otak saya dengan
adrenalin dan semangat. Dari atas terlihat 2 orang yang menyerupai liliput
berjalan menuruni pasir dan membesar dengan perlahan. Hahaha saya tertawa
sendiri, “ manusia “ kataku dalam hati, setidaknya saya tau kalau puncak masih
lumayan jauh, dan disisi lain saya tau kalau saya tidak sendiri.
Kami
mengobrol beberapa kalimat ketika berpapasan, pertanyaan klasik yang sebenarnya
saya sudah bisa memperkirakan jawabannya sendiri terlontar untuk membuka
percakapan basa basi ini, pertanyaan tentang jarak dan waktu untuk menggapai
puncak dari titik saya berdiri bebebrapa kali di jawab dengan kata kata
penyemangat. Kontras dengan langkah saya, terlihat beberapa pendaki yang mulai
turun. Melihat jam tangan menunjuk 06.30 WIB saya teringat gas beracun yang
akan tersembur di kisaran pukul 08.00 WIB, dan saya harus sampai di puncak
sebelum itu.
Hati ini
bergetar, peluh serasa ingin menetes,
melihat merah putih berkibar dalam ayunan tangan pendaki. Puncak semakin dekat,
ingin rasanya saya berteriak dan memeluk Dita. “mau naik mbak ?, sudah dekat,
di belakang batu besar itu sudah puncak kok” seorang pendaki menginformasikan
itu kepada saya. Dita masih di bawah, sampai disinipun saya belum melihatnya,
begitu juga dengan 3 lainnya.
Batu
besar ini menjadi gerbang ahir saya, berjalan melewatinya membuat saya semakin
dekat dengan puncak. kang Jaka mulai berjalan turun, teriakan saya menyeret
pandangan kang jaka. “AYO 50 Meter lagi” teriaknya menyemangati saya. Kang
jaka, Dani, Ardi, mbak siska dan mas Novan sudah lebih dulu menggapai puncak
bahkan mereka sudah memulai berjalan turun, namun kehadiran saya membuat mereka
naik kembali. “kasian sendirian kalo tidak di temani, yuh sebentar lagi puncak,
nanti foto foto di atas” kata dari kang jaka membuat saya terharu.
Bebatuan
berpasir ini mulai terlihat sama rata, permukaan ini adalah tanah tertinggi
para dewa, Puncak Mahameru. Degup jantung ini memompa entah apa yang membuat
tangan dan tubuh saya tergoncang. Kaki saya bekerja keras menopang agar tubuh
ini tidak jatuh ketanah. PUNCAK MAHAMERU TANAH TERTINGGI DI PULAU JAWA ahirnya
saya mampu berdiri disini atas kuasa Allah. Aris, Bayu dan Budi menyusul di belakang, satu jam kemudian mereka sampai puncak. tepat di saat beberapa dari kami mulai berjalan turun. Saya dan Ardi kembali keatas, Ahirnya perwakilan Angkatan kami Wulung Adri berada di puncak MAHAMERU tujuan awal perjalanan ini. Ari alwi, Dita, Ahmad, Erwin dan Zakaria kami bawa nama kalian sampai di sini. Summit MAHAMERU, We Get YOU.
Wulung Adri dari kiri: Budi, Aris, Saya Lili, dan Bayu |
***
jika kamu memiliki sebuah tujuan,
buatlah
tujuan itu bernyawa
membara
dan berkobar di dalam dada
ketika
kamu mulai lelah
ingat
kembali tujuan mu
maka kamu
akan berjalan kembali
tu kan, bapaknya tidur, kami malah foto foto hhehhe |
nyampe di stasiun malang |
di tumpang, mau berangkat ke ranupane |
menikmati dengan cara berbeda, teteap mengutamakan savety :D |
gerbang masuk semeru |
jalur menuju pos 1 |
cewek cewek kece hehehe |
pos 2, sampai di sini udah mulai gelap |
pos 3 |
pos 4 |
sekitar jam 5 pagi di ranukumbolo |
foto wisuda dita hehehe |
foto wisuda mas rizky |
foto wisuda ardi |
ceritanya mancing hehehe #tapi boongan |
melihat ranukumbolo dari sisi yang berbeda |
gagal paham ini pose apa hehehe, tapi gokil |
masak di ranupane |
makan bersama di ranukumbolo |
all team kurang mbak el, sebelum nanjak di tanjakan cinta |
tanjakan cinta,, uuuyyyeeeh |
semua pada ahirnya akan kami lalui #tanjakancinta |
oro oro ombo hehehe |
semangka di di pos cemoro kandang |
jambangan |
kurang kerjaan ni mau ke kali mati |
kali mati |
nanjaknya mahameru dari samping, berbingkai indahnya fajar |
Komentar
Posting Komentar