Langsung ke konten utama

To get summit Mahameru 3676mdpl

Percayalah,
lelah ini hanya sebentar saja,
jangan menyerah,
walaupun tak mudah meraihnya
#Teruslah bermimpi by Ipang

Kaki ini mulai merasakan kejamnya pasir berbatu di tanah para dewa. Seperti seekor sapi yang dipacu untuk menggiling sagu, udara dingin  Mahameru memaksa kami terus melangkah jika kami tidak ingin mengalami hipotermia. Ego dan impian menginjakkan kaki di tanah tertinggi bersama angkatan kami Wulung Adri memompa semangat saya untuk berjalan. 15 langkah berjalan, 3 tarikan nafas istirahat berusaha untuk konstan dan menjaga ritme pernafasan agar tubuh ini bisa bertahan.

Berjalan dipasir samahalnya berpacu dengan waktu, gerakan lambat akan membuatmu berjalan di tempat. Teori 15 3 hanya bertahan sekian meter saja, selebihnya berjalan sekuatnya. Rombongan kami termasuk yang awal memulai perjalanan, awalnya kita di depan namun kemudian beberapa orang melewati kami, sampai pada ahirnya kami menjadi yang terbelakang. Iya saya dan dita berada paling belakang. Kami berdua, dua cewek yang melangkah tertatih menuju puncak mahameru.


Dorongan untuk turun dan menyudahi perjalanan beradu dengan dorongan untuk tetap melanjutkannya. Entah itu setan, malaikat, akal sehat, atau ego bertengkar hebat dalam pikiran kami. Dita sudah mulai merasa berkunang, langkah kakinya mulai gontai, kami berdua mengalami kedinginan yang superhebat, baju rangkap 3 ini ternyata tak banyak membantu. Menunjuk batu besar di atas, saya mengajak dita untuk istirahat disana. Sekitar 7m di atas kami, namun ternyata tidak mudah untuk menggapainya. Batu itu menjadi benteng kami dari angin, sebuah benteng yang dipastikan akan roboh ketika mendapat serangan musuh karena ukurannya yang tak sepadan. Kami saling berpelukan berharap bisa saling menghangatkan satu sama lainnya. Dinginnya malam membuat saya mulai ngomong ngelantur gak jelas, sesekali dita menepuk nepuk pundak saya dan mengembalikan kesadaran saya.

Sepertinya dingin ini hanya milik kami berdua, kami sudah tak melihat pendaki lain, rombongan kami 3 orang, Aris, Budi, dan Bayu kami tak tau mereka dimana. Melihat betapa curamnya pasir yang telah kami lewati dan melihat cahaya senter di atas kami yang hanya terlihat titik titik kecil berpendar, sepertinya kami sudah setengah jalan. Keputusan harus diambil, lanjut atau kembali dengan konsekuensi masing masing . Memori perjalanan untuk sampai disini merajut dalam ingatan kami, mencoba mempengaruhi keputusan yang akan kami ambil.
***

Selasa, 14 Oktober 2014. Kami angkatan Wulung Adri (Saya, Dita, Bayu, Budi, Aris, Ahmad) melakukan perjalanan dalam bentuk sukur kami karena telah menyelesaikan pendidikan di Politeknik Negeri Semarang. Berangkat menemani kami, Mas Rizky, Mbak Siska, Ardi, Dani, dan mbak lusiana. Kereta Matramaja berangkat tepat waktu malam ini, pukul 22.30 WIB kami bertolak dari stasiun poncol Semarang menuju Stasiun Malang Baru.
all team di Stasiun Poncol Semarang

Kami terbagi kedalam beberapa gerbong yang berbeda, 2, 5, dan 6. Gerbong saya, gerbong enam ternyata lebih ramai, sebagian besar berkumpul disini, saya berhadapan dengan Budi. Mengeluarkan beberapa isarat tersurat terhadap penumpang di samping saya ternyata menuai hasil, Budi berganti posisi dengannya. Ini membuat kami lebih leluasa untuk beristirahat karena tak ada rasa sungkan di antara kami.

Harapan untuk beristirahat sepanjang perjalanan sepertinya menjadi tabu, budi dengan keusilannya tidak mengijinkan saya berstirahat. Olokan dan candaan dari teman teman menjadi kopi yang akan mengganjal mata dan membuat saya tetap terjaga. Kereta mulai sunyi ketika suara kami lah yang tersisa menggema di gerbong. Sampai ahirnya pukul 03.00 WIB benar benar sunyi karena kami mulai tumbang satu persatu.

15 Okt 2014 Pukul 09.20 WIB kami sampai di Stasiun Malang Baru, molor 2,5 jam dari jadwal seharusnya. Dipintu keluar stasiun, kang jaka sudah menyambut kehadiran kami.  Soto panas depan stasiun menjadi menu pembuka, obat anti lengket usus. Kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Tumpang, menggunakan angkot berwarna biru yang sebelumnya telah kami hubungi. Perjalanan membutuhkan waktu 30 menit, pak surbani menjadi juru kemudi kami, alunan lagu dangdut bukak sitik jos mengiringi perjalanan.  

Inggit dan Widi, teman kami dari Purwokerto telah sehari menunggu di base camp pasar tumpang. Kehadiran kami menandakan usai sudah penantian mereka. Total personil 14 orang, 6 orang angkatan kami, 2 alumni kami (kang Jakan, Mas Rirky), 2 teman kuliah ( Ardi, Dani ), 1 teman mapala UNES KSG ( mb’ Lusiana ), 1 teman mapala UNDIP PALAKA (Mb’ Siska), 1 teman mapala MIPL AMIKOM purwokerto (Inggit) dan pasangannya (Widi). Semua personil mulai menyiapkan diri untuk pendakian, sebagian mulai berganti baju dan sepatu, sebagian lagi berbelanja perbekalan di pasar tradisional tumpang, dan sisanya mengurus birokrasi yang harus diselesaikan nanti ketika sampai di Ranupane.

Bakda duhur, pukul 12.20 WIB dua jip, orange dan hitam melaju mengantarkan kami untuk sampai di Ranupane. Di sepanjang perjalanan kami di suguhkan indahnya pemandangan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Saya dan kang jaka memilih duduk di depan jip orange, mencoba menikmati indahnya alam ini dengan sensasi yang berbeda. Terkadang saya merasa harap harap cemas karena hand rem jip kami mengalami sedikit masalah, beberapa kali kami lompat turun dan berlari mencari pengganjal ban agar jip tidak meluncur mundur. Tidak berbeda jauh dengan jip yang kami tumpangi, jip hitam didepan ternyata mogok. Barang barang sekaligus penumpangnya di oper ke jip yang kami tumpangi. 1 jip dengan kapasitas 20 orang beserta barang bawaannya ahirnya sampai di Ranupane. Standar waktu yang diperlukan untuk sampai di sini adalah 2 jam, kami menempuhnya dengan 2,5 jam.

Setelah semua perijinan kami lakukan, ahirnya pukul 15.30 WIB kami berada di bawah gerbang masuk gunung semeru. Pendakian menggapai summit di mulai, kami berjalan mengikuti jalan setapak berdebu untuk memasuki kawasan hutan. Kacamata dan slayer ini sungguh membantu, setidaknya debu ini tidak menjadi camilan kami sepanjang perjalanan. Jalan yang kami lewati tidak begitu menanjak, jalan setapak yang cukup jelas dan menyisir bukit, dari satu punggungan ke punggungan bukit yang lain. Sesekali kami berhenti dan berbagi jalan dengan pendaki lain ketika berpapasan.

1 jam untuk sampai di pos 1, kami melewati area Landengan Dowo dengan ketinggian 2300mdpl. Disini menjumpai penjual gorengan dan semangka, bagaikan simbiosis mutualisme masing masing kubu sama diuntungkannya. Kami membutuhkan camilan berkalori untuk mengganjal perut sedang bapaknya membutuhkan uang untuk menafkahi keluarga. Satu gorengan atau satu potong  semangka sama sama dihargai Rp. 2500, kami tinggal memilih mana yang ingin kami makan. Jangan di bayangkan gorengan krispy anget di sini adanya gorengan dingin namun tak kalah nikmatnya.

Lapar sudah tertunda perjalanan berlanjut, menuju pos 2 dan pos 3 jalan masih serupa dengan yang sebelumya. Namun langit sudah berubah warna, headlamp mulai terpasang di masing masing kepala kami. Sekarang kami berada di Watu Rejeng dengan ketinggian 2350mdpl, sehabis ini baru Ranu Kumbolo. Setengah jam sampai di pos 2 dan satu jam untuk pos 3.Terkadang sedih juga melihat beberapa paving terpasang, campur tangan manusia membuat jalur ini jelas terlihat. Sepertinya bahkan sepeda bisa digunakan untuk menggapai ranukumbolo.

Berjalan menuju pos 4, pertama tama kami harus mendaki tanjakan yang berada persis disamping pos 3. Lumayan untuk mengeluarkan keringat ditengah udara dingin. Ini adalah tanjakan pertama kami setelah sebelumnya jalan yang kami lalui bisa dikatakan landai. Jalan kembali menyisir, terkadang juga menurun, masih di bagian kiri bukit kami harus melewati pos 4 baru Ranu Kumbolo. Senyum kami keluar ketika melihat cahaya yang terpancar dari dalam doom, ranu kumbolo teriak kami. Semangat kami menyatu dengan udara dingin, kaki kaki kami tak hentinya berjalan mendekatinya, tempat camp kami, Surga gunung semeru Ranu Kumbolo.
1 jam sampai di pos 4, dari sini kami menuruni bukit dan memasuki ranu kumbolo, kami menyisir sebelah ranu mencari camp yang tepat untuk 4 tenda kami.

Malam pertama kami habiskan di Ranu Kumbolo. Udara begitu dingin, menjalankan kewajiban untuk beribadah menuai banyak godaan. Wudhu dan membasuh beberapa anggota tubuh dengan air bak di hujani ribuan jarum. Sedangkan Teh hangat terasa begitu lezatnya ketika melewati tenggorokan. Beberapa dari kami mulai memposisikan diri di dalam tenda dan membekali diri dengan sleeping bag, saya menyusul setelah menyelesaikan masakan orak arik telor. Menunggu rombongan yang belakang datang, tak terasa membuat kami ketiduran, alhasil sia sialah masakan saya malam ini.

ranukumbolo
Pagi ranu, 16 oktober 2014 pukul 05.00 WIB langit semeru mulai bercahaya. Kami memulai aktifitas pagi kami, semua di sibukkan dengan kegiatan masing masing. Tempe asam pedas, tahu goreng, kerupuk menjadi menu pilihan pagi ini, sedangkan mie rebus di coret karena tumpah, saya di bantu dita dan aris untuk menyelesaikan semua menu itu. kami mulai memanggil rekan rekan yang lain ketika hidangan benar benar siap kemudian menyantapnya bersama sama. Kenikmatan yang terlahir karena kebersaman walaupun menu seadanya.

Inggit dan Widi melakukan preweeding di hadapan ranu kumbolo, membuat kami yang melihatnya ikut merasakan kebahagiaan sekaligus iri. Kami hanya bertanya tanya dalam hati, kapan giliran kami hehe.

Mempacking barang barang kami bersiap menaikki tanjakan cinta. Dibuka dengan doa kami siap melanjutkan perjalanan. Dita dan mbak lusiana berencana mencoba peruntungan dengan menyimpan sebuah nama di hati kemudian berjalan tanpa menengok ke belakang. Sepertinya godaan terbesar adalah kami, kami ibarat setan yang selalu membisikkan kata kata tengok tengok dan tengok, namun iman mereka mampu bertahan sampai finis yaitu puncak tanjakan cinta. 

Di belakang tanjakan itu, membentang luas oro oro ombo yang jika musim hujan akan sangat cantik dengan ribuan bunga berwarna unggu. Kami kurang beruntung, bunga bunga ini telah kering dan berwarna coklat, namun keindahan dan kemegahan oro oro tak berkurang sedikitpun. Kami hampir tidak terlihat karena tinggi setiap batangnya melebihi tinggi kami.

Di hadapan kami, kami melihat pepohonan pinus bergoyang akibat fatamorgana yang ditimbulkan teriknya sang surya. Cemoro kandang 2500mdpl, dengan beberapa pendaki yang sedang beristirahat di sana, terlihat juga semangka segar yang berteriak teriak “ makan aku makan aku “, yah penjual semangka dan gorengan ini ternyata sampai juga disini. Tidak di pungkiri keberadaanya sangat di nantikan, apalagi semangka merah yang selalu meledek kami. Kami beristirahat sejenak dan menikmati segarnya buah semangka di antara teriknya matahari di gunung semeru.

Perjalanan selanjutnya menuju Jambangan 2600mdpl, 3km dari tempat kami istirahat atau sekitar 2,5 jam berjalan. Kami mulai memasuki fegetasi hutan dan semak, ribuan semak kering tertata rapi di bawah pohon pohon rindang, jalannya mulai menanjak namun kostan, bayangan pohon pohon besar ini melingungi kami dari teriknya matahari dan dengan gratisnya membagi kami oksigen yang segar. Kami harus melewati 3 sampai 4 bukit untuk sampai di jambangan, burung jalak merah menyambut ramah kami atau mungkin mereka malah tak memperdulikan kami karena tidak terlihat keberadaan kami mengganggu mereka.

eidelwis, bunga yang tumbuh di ketinggian
Eidelwis, bunga abadi yang hanya tumbuh di ketinggian tertentu ini mulai menghiasi langkah kami, terkadang saya berada di persimpangan antara menggambil eidelwis itu atau tidak. Eidelwis itu sudah jatuh dan bukan saya yang memetiknya, di sisi lain kami memiliki perjanjian tidak tertulis: tidak mengambil apapun kecuali foto, tidak membunuh apapun kecuali waktu dan tidak meninggalkan apapun kecuali jejak. Pada ahirnya saya letakkan kembali eidelwis yang telah patah tadi ke tanah, dan berkata dalam hati “itu bukan milik saya, saya hanya numpang lewat disini, karna saya ingin belajar dari alam”.

Jambangan – kali mati 2700mdpl tujuan camp kami selanjutnya berjarak 2km, kami memakan waktu setengah jam berjalan. Dari sini kami mulai bisa melihat puncak mahameru,   tak ada bukit lagi yang menghalangi kami menatap mahameru. Jalan menurun melewati sabana pendek kemudian memasuki pepohonan rimbun, begitu seterusnya sampai 4 kali, baru setelahnya kami memasuki fegetasi pinus dan sabana eidelwis kalimati.

15.00 WIB kami sampai di kali mati, berbagi tugas kami para ibuk ibuk mengambil logistik untuk di olah menjadi menu makan malam, bapak bapak beberapa mengambil air, mendirikan tenda dan mencari ranting ranting pohon untuk perapian. Menu malam ini adalah terong balado, telor gimbal, oseng tahu putih, dan tidak ketinggalan kerupuk. Walaupun masih sore, berada di bawah bayangan pohon membuat kami kedinginan, kami menggelar matras dan meracik bumbu di bawah sinar matahari untuk mengurangi rasa dingin itu. Malam ini kami putuskan untuk istirahat lebih awal, sehabis makan malam dan mempersiapkan kelengkapan untuk mendaki esok, pukul 19.30 WIB kami mulai mencari posisi tidur masing masing.

Pukul 23.00 WIB, kami mulai mengumpulkan kembali semangat kami, walaupun bersembunyi di balik sleeping bag begitu menggoda iman kami namun kami memilih bangun dan mempersiapkan diri untuk mendaki. Kami memakai pakaian tempur terhadap dingin, berjalan di jam segini sama halnya bermusuhan dengan tekanan udara, angin dan udara dingin. Amunisi harus dipersiapkan, saya sendiri memakai baju rangkap 3 di tutup dengan jaket lapangan, celana rangkap 2, sarung tangan, slayer untuk menyaring udara yang mengandung H2O dan penutup kepala untuk melindungi telinga dari dingin.

Mas Rizky berangkat lebih awal berjalan bersama teman baru yang kami temui di Kali mati yaitu dari Majusi mapala Jambi. Kami menyusul setengah jam berikutnya, pukul 23.45 WIB setelah berdoa kami berangkat. Tidak semua dari kami ikut naik, mbak lusiana dan ahmad memilih tinggal dan menjaga tenda.

Menit menit pertama formasi masih utuh, jarak antar personil masih dekat. Beberapa menit selanjutnya saya tidak mampu mengimbangi langkah kang jaka sebagai leader dan mulai perlahan tertinggal jauh. terlalu beresiko berjalan seorang diri, kami terpecah kedalam kelompok kelompok kecil. Kang jaka, dani, dan ardi adalah rombongan kami yang paling depan. Dibelakangnya mbak Siska, saya dan Dita, dan kelompok terahir Aris, Bayu,Budi, Inggit, Widi.

45 menit menanjak melewati kerkil kecil kemudian pasir, kami sampai di Arcopodo. Bulan bersinar remang di sebelah kiri, seolah memperhatikan langkah kecil kami. Langit terlihat begitu dekat tak berjarak, bintang bintang bertaburan dengan formasi rasi yang indah. Di bawah tidak kalah mengambil peran, pinus pinus besar berdiri dengan tegak melindungi kami dari hembusan angin. Kombinasi alam yang indah, yang mampu menciutkan hati, meringkuk dan merasa begitu kecil di alam ini.  

***

jalur menuju puncak, gambar di ambil ketika turun
PUNCAK, PUNCAK, PUNCAK, kenangan perjalanan membuatnya memenagkan keputusan ahir saya. Namun hati ini getir ketika melihat kondisi kami berdua. 17 Oktober 2014 Pukul 05.00 WIB langit timur mulai berwarna semburat orange ke kuningan. Dita membangunkan tidur saya, kami berdua terdiam melihat fenomena alam itu, alhamdulillah ucap kami lirih, MATAHARI ahirnya kau datang isak kami dalam sukur.

Kami kembali berjalan dengan sisa semangat dan tenaga, kami mulai menaiki lagi pasir Mahameru. Berjalan bersama kami terpisah kanan kiri dan saling memantau satu sama lain. Menyisir ke sebelah kanan saya berusaha mencari bebatuan berpasir yang lebih mudah di injak dan keras, ini akan menghemat tenaga yang saya keluarkan. Di atas kami, kami melihat gundukan berselimut coklat. Kami hanya menebak nebak isinya, kami pikir itu kerier pendaki yang sengaja di tinggalkan karena berat, atau mungkin itu orang yang tergeletak karena kelelahan, pikiran negatif saya berpikir itu mayat pendaki yang hipo dan terpisah dari rombongannya. Dita mendekati dan memastikannya, ternyata dibawahnya bersembunyi rekan kami Aris, Budi dan Bayu (saya tersenyum lega). Kami pikir mereka telah meninggalkan kami berdua, tapi ternyata mereka menunggui disini.
 
Kami berusaha membangunkannya, mereka justru menyuruh kami berjalan terlebih dulu. Saya dan Dita kembali berjalan karena kami tau mereka akan jauh lebih cepat dibanding kami. Saya menemukan pola di jalur yang saya lalui. Berjalan zig zag dapat mengurangi prosotan yang akan terjadi jika saya berjalan lurus, dan ini akan mempercepat langkah kaki.

“Zig zag, zig zag”, saya meneriakkannya kepada Dita. Dia mulai berjalan di belakang saya. Saya beristirahat ketika dia beristirahat kemudian kembali berjalan ketika melihatnya mulai mendaki, kami melakukan hal yang sama walau terpisah jarak. Terus seperti itu berjalan dan menengok kebelakang, sampai sebuah batu besar menghalangi pandangan kami. Teriakan saya tidak mendapatkan respon darinya, harus berada lebih atas lagi untuk dapat melihatnya asumsi saya. Saya kembali berjalan zig zag dan keatas, dari pempat saya berdiri saya melihatnya begitu kecil. Kami sudah tidak dapat berkomunikasi satu sama lain, udara mengenyahkan suara kami.

Saya berada dipersimpangan, berjalan atau menunggu Dita.  Saya mulai merasa kedinginan ketika menunggu dita namun meninggalkannya tidak mungkin, tiba tiba saya teringat 3 rekan saya yang lainnya berada dibawah kami berdua. Dita aman pikir saya, dan saya melanjutkan kembali langkah saya, membuat pergerakan yang akan menghangatkan tubuh ini. Beberapa kali saya menengok kebelakang, berusaha mencari keberadaan dita dan 3 lainnya. Saya tak melihat seorang pun dalam kubah pasir ini, sepanjang saya melihat hanya pasir dan bebatuan. Saya merasa benar benar sendiri.  

Diam merancukan pikiran saya, dan membuat saya berkhayal keantah berantah. Saya terus berjalan dan berjalan, setidaknya aktifitas ini mengisi otak saya dengan adrenalin dan semangat. Dari atas terlihat 2 orang yang menyerupai liliput berjalan menuruni pasir dan membesar dengan perlahan. Hahaha saya tertawa sendiri, “ manusia “ kataku dalam hati, setidaknya saya tau kalau puncak masih lumayan jauh, dan disisi lain saya tau kalau saya tidak sendiri.

Kami mengobrol beberapa kalimat ketika berpapasan, pertanyaan klasik yang sebenarnya saya sudah bisa memperkirakan jawabannya sendiri terlontar untuk membuka percakapan basa basi ini, pertanyaan tentang jarak dan waktu untuk menggapai puncak dari titik saya berdiri bebebrapa kali di jawab dengan kata kata penyemangat. Kontras dengan langkah saya, terlihat beberapa pendaki yang mulai turun. Melihat jam tangan menunjuk 06.30 WIB saya teringat gas beracun yang akan tersembur di kisaran pukul 08.00 WIB, dan saya harus sampai di puncak sebelum itu.

Hati ini bergetar, peluh serasa ingin  menetes, melihat merah putih berkibar dalam ayunan tangan pendaki. Puncak semakin dekat, ingin rasanya saya berteriak dan memeluk Dita. “mau naik mbak ?, sudah dekat, di belakang batu besar itu sudah puncak kok” seorang pendaki menginformasikan itu kepada saya. Dita masih di bawah, sampai disinipun saya belum melihatnya, begitu juga dengan 3 lainnya.

Batu besar ini menjadi gerbang ahir saya, berjalan melewatinya membuat saya semakin dekat dengan puncak. kang Jaka mulai berjalan turun, teriakan saya menyeret pandangan kang jaka. “AYO 50 Meter lagi” teriaknya menyemangati saya. Kang jaka, Dani, Ardi, mbak siska dan mas Novan sudah lebih dulu menggapai puncak bahkan mereka sudah memulai berjalan turun, namun kehadiran saya membuat mereka naik kembali. “kasian sendirian kalo tidak di temani, yuh sebentar lagi puncak, nanti foto foto di atas” kata dari kang jaka membuat saya terharu.

Bebatuan berpasir ini mulai terlihat sama rata, permukaan ini adalah tanah tertinggi para dewa, Puncak Mahameru. Degup jantung ini memompa entah apa yang membuat tangan dan tubuh saya tergoncang. Kaki saya bekerja keras menopang agar tubuh ini tidak jatuh ketanah. PUNCAK MAHAMERU TANAH TERTINGGI DI PULAU JAWA ahirnya saya mampu berdiri disini atas kuasa Allah. Aris, Bayu dan Budi menyusul di belakang, satu jam kemudian mereka sampai puncak. tepat di saat beberapa dari kami mulai berjalan turun. Saya dan Ardi kembali keatas, Ahirnya perwakilan Angkatan kami Wulung Adri berada di puncak MAHAMERU tujuan awal perjalanan ini. Ari alwi, Dita, Ahmad, Erwin dan Zakaria kami bawa nama kalian sampai di sini. Summit MAHAMERU, We Get YOU.
Wulung Adri dari kiri: Budi, Aris, Saya Lili, dan Bayu



***

jika kamu memiliki sebuah tujuan,
buatlah tujuan itu bernyawa
membara dan berkobar di dalam dada
ketika kamu mulai lelah
ingat kembali tujuan mu

maka kamu akan berjalan kembali

tu kan, bapaknya tidur, kami malah foto foto hhehhe

nyampe di stasiun malang

di tumpang, mau berangkat ke ranupane

menikmati dengan cara berbeda, teteap mengutamakan savety :D

gerbang masuk semeru

jalur menuju pos 1


cewek cewek kece hehehe


pos 2, sampai di sini udah mulai gelap

pos 3

pos 4

sekitar jam 5 pagi di ranukumbolo

foto wisuda dita hehehe

foto wisuda mas rizky

foto wisuda ardi

ceritanya mancing hehehe
#tapi boongan


melihat ranukumbolo dari sisi yang berbeda

gagal paham ini pose apa hehehe, tapi gokil

masak di ranupane

makan bersama di ranukumbolo

all team kurang mbak el, sebelum nanjak di tanjakan cinta

tanjakan cinta,, uuuyyyeeeh 

semua pada ahirnya akan kami lalui
#tanjakancinta

oro oro ombo hehehe

semangka di di pos cemoro kandang

jambangan

kurang kerjaan ni mau ke kali mati

kali mati
nanjaknya mahameru dari samping, berbingkai indahnya fajar


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang sebuah Nama Rimba

Nama rimba adalah sebuah nama yang dimiliki hampir semua anak pecinta alam. Yang jelas gak ada nama yang bagus dikamus besar nama rimba, kalo gak aneh ya bukan nama rimba namanya. Gak segampang membalikkan tangan untuk mendapatkan nama rimba, ibarat seorang anak yang lahir kedunia yang harus ngejongkrok 9 bulan 10 hari dulu di dalam perut ibu dan ahirnya lahir kedunia dan di anugrai nama oleh kedua orang tua. Nama rimba pun kayak gitu, kita musti ikuan pendidikan dasar pecinta alam yang waktunya udah di tentuin sama panitia baru ketika kita di anggap layak untuk mendapat sebuah nama mereka akan memberikannya kepada kita, dan itu juga menjadikan arti bahwa kita telah menjadi sebuah bagian di antara mereka.

Wapalhi Prusic Competition

Wapalhi Prusic Competition merupakan Program kerja WAPALHI periode 2012-2013. Surat Tugas dari Kepala Suku WAPALHI Andi Purwanto W.10.586.NJ jatuh pada Aditya Bayu W.11.499.WA yang di percaya menjadi Ketua Pelaksana dalam program kerja ini.                          WPC yang kami adakan merupakan sebuah kompetisi yang menitik beratkan pada kemampuan metode penelusuran gua. Jauh sebelum di kenalnya metode SRT (Singgel  Rop Teknis) penelusuran gua masih menggunakan metode prusik. Dari sini kami menggangkat ini untuk di jadikan sebuah ajang kompetisi.  Lomba ini sendiri kami adakan di Wall Climbing POLINES pada tanggal 30-31 Maret 2013. Dengan cakupan peserta pelajar, mahasiswa dan masyarakat  se Jateng DIY.

Buah Cinta Anak Mapala

                                           Pacaran sesama anak mapala itu udah banyak, yang sampai nikah juga udah banyak. Nah loh yang namanya mapala paling terkenal konyol dan seenakke sendiri dan yang bakalan kena getahnya anak anaknya hehe. Salah satu yang pasti bakalan ngefek itu di nama mereka, kayak Eidelwis pasti itu bapak ibuknya mapala. Mahameru, ini pasti orang tuanya suka sama gunung mahameru. Ada juga waktu temenku naek merbabu dia ngeliat anak kecil usia 5th ikutan naik merbabu, gila tu anak pasti bapak ibuknya mapala kalo enggak gak bakalan tu di ijinin anak seusia itu naek gunung. Cerita punya cerita tu anak ngiri sama adiknya yang baru satu tahun udah naik merapi, karena ngeliat adiknya foto di puncak merapi si embak ngerengek minta di ajak naik gunung. Paraaah anak 1th dah diajakin naik gunug,wooy aku seusia itu masih belajar lari, ni anak udah sampai puncak merapi hebat hebat. Beneran ini efek dari bapak ibuknya yang mapala. Coba bapak ibuknya dokter keci