Jum’at 27 Oktober 2013. Sepulang dari kampus yang biasanya
mampir dulu di posko kali ini saya langsung pulang ke kos, mengerjakan semua
pekerjaan kos sebelum berpergian sudah menjadi rutinitas saya. Nah baru setelah
semua selesai list selanjutnya adalah packing untuk perjalanan sasak ungaran.
Tapi masih ada satu tugas negara lagi yang harus saya lakukan, pada ahirnya
saya dan Lulu membagi Job. Saya bertugas mewawancarai mahasiswa baru sedang
Lulu berbelanja kebutuhan yang akan kami bawa. Robin dan Jafar sedang ada
kuliah jadi mereka tidak bisa membantu persiapan.
Pukul 16.00 WIB kami mulai mencek list ulang kebutuhan kami.
Job packing kami pindah tugas kan kepada Jafar yang telah pulang kuliah,
sedangkan saya dan lulu mencari sesuatu untuk surprise malam minggu. Ba’da
isya’ team ( Saya, Lulu, Robin Jafar ) beserta rekan rekan yang lainnya ( Mas
Luwak, Mas gendon, Suminto, Budi, Annas, Adhy serta Ari ) mengadakan upacara
pemberangkatan serta doa bersama. Rekan
kami yang tidak ikut dalam perjalanan ini mengantarkan kami ke pom bensin
Srondol.
Dari Srondol kami mencari tumpangan untuk sampai di Gedung
Songo. Mencari tumpangan dari sini ternyata tidak semudah dulu lagi, durasi
lampu merah yang 30 detik membuat kami harus ekstra gesit meminta tumpangan.
Seperempat jam berlalu dan kami belum juga mendapat tumpangan. Pick up pertama
berlalu karena tidak sesuai dengan tujuan perjalanan kami. Truck truck di
belakangnya juga berlalu karena lampu hijau meminta mereka berjalan. Pada ahirnya ada sebuah truck bekas muatan
pasir yang mau memberi kami tumpangan, kami tetap harus beradu dengan waktu
agar tidak tertinggal dari truk hehee. Truck kuning yang entah siapa
pengemudinya mengantarkan kami sampai di Lemah Abang.
Dari sini kami harus mencari tumpangan lagi untuk sampai di
pertigaan arah ke Gedung Songo. Personil kami bertambah, Erwin telah menunggu
kami di sini ternyata. Nasib kami lebih
mujur dari sebelumnya, tidak memerlukan waktu lama sebuah pick up bermuatan
peralon memberi tumpangan kepada kami. Kami sangat berterima kasih kepada bapak
yang belum sempat kami ketahui namany, selain memberi tumpangan beliau juga
memberi kami roti yang menjadi bekal perjalanan beliau.
Dari pertigaan gedung songo kami harus berjalan kaki sampai
di atas, karena sangat minimnya kendaraan yang lalu lalang di jam jam seperti
ini. Perjalanan ini cukup membakar kalori dari nasi goreng yang kami makan
sebelum berangkat tadi . Dengan langkah pasti kami menolak tawaran menginap di
home stay yang di depannya jelas
tertulis “ masih ada kamar”. Kami tetap berjalan sampai di gazebo candi 6
gedung songo yang menjadi tempat bermalam kami di malam sabtu ini. Sebelum
tidur teh hangat menutup malam dingin kami dan entah itu mimpi indah ataupun
mimpi buruk telah menunggu kami di depan.
Sabtu, 29 Oktober 2013. Dinginnya Gedung Songo sepertinya
mengusik tidur kami. Hampir semalaman saya tidak bisa tidur, menjelang pagi
saya memilih untuk beraktifitas memasak sarapan dari pada tidak bisa tidur
karena kedinginan. Masakan tersaji di saat anak anak yang lain masih tertidur,
saya mengajak Lulu untuk mencari air. Mata air yang berada di dekat candi 2
ternyata kering, dan itu adalah satu satunya mata air tawar yang ada. 2 botol
kosong yang kami bawa pada ahirnya berisi air belerang.
Sekembalinya kami ke gazebo ternyata Bayu telah sampai di
sana. Personil kami bertambah 1 orang lagi, jadi total personil kami ber enam.
Sarapan, teh hangat kemudian packing, kami bergegas melakukan perjalanan.
Setelah melakukan pemanasan bersama kami kemudian membagi kelompok perjalanan
menjadi 2; jalur pertama terdiri dari saya sendiri, Lulu dan Bayu sedangkan di
jalur 2 terdiri dari Robin, Jafar dan Erwin.
Seperempat berjalan jalur pertama lancar. Ingatan saya dan
Bayu masih sama. Dari percabangan jalur pertama kami sepakan mengambil jalur
kanan. Medan mulai rimbun disini, akar akar yang keluar dari batang pohon mulai
menjuntai sampai di tanah. Kami berjalan
sembari membuka jalur. Dari sini kami seharusnya berjalan ke atas terus, sampai
setelah bertemu jalur setapak kami menggambil jalur kiri dan sampai di tempat
dimana kami sering berhenti untuk sholat duhur. Dari situ tugu perbatasan
antara kendal dan Semarang akan terlihat, sekaligus menjadi tanda untuk titik
selanjutnya yang akan kami tuju yaitu kali mati.
Entah itu hanya perasaan saya saja tapi saya merasakan
beberapa kali melewati titik yang sama. Beberapa kali saya menanyakan arah ke
Bayu, karena memang ingatan kami mulai berbeda disini. Setelah mendaki lumayan
lama kami bertemu jalur setapak kemudian kami menyisir ke kiri dan kami tidak
menemukan rest area yang biasanya kami gunakan. Saya dan bayu kembali memutar
ingatan, kami putuskan untuk terus mendaki dan menyisir ke arah kiri. Rerumputan
tumbuh begitu lebat memenuhi pandangan kami. Kami kembali menemukan jalur setapak,
dan kami putuskan lagi untuk menyisir ke kiri. Yang membuat saya bingung disini
adalah gunung Sindoro Sumbing yang terlihat jelas. Seharusnya saya melihat
gunung itu ketika kami menggambil jalur lurus di pertigaan pertama, padahal
kami sudah naik begitu tinggi.
Kami berkomunikasi dengan team jalur dua, kami kemudian
bertemu di jalur setapak kedua. Mereka juga belum menemukan tugu perbatasan
semarang kendal, darisini kami putuskan untuk berjalan bersamaan saja. Kami
lanjut berjalan ke atas dan keatas namun tugu perbatasan tak kunjung kami
temukan. Kami berasumsi bahwa tugu telah kami lewati dan tujuan berpindah
langsung ke kali mati, kami menyisir keatas arah utara.
Jalur yang kami lewati sangat asing bagi saya, kami telah
keluar jalur terlalu jauh. Persediaan air yang kami bawa menipis sampai ahirnya
kami meminum air belerang rasa susu ( jangan di bayangkan rasanya karena memang
tidak enak). Melewati waktu duhur kami belum juga menemukan tempat tujuan. Kami
sampai di sebuah punggungan yang kami kira di bawahnya adalah kali mati. Kami
beralih dari yang tadinya naik dan naik sekarang menyisir turun. Jalur ini benar benar ekstrim, labilnya tanah
membuat kami terperosot dan terjerembab beberapa kali. Teriakan rock juga
sering terucap karena kami menjatuhkan batu yang kami injak.
Kami harus menelan ludah karena sungai yang kami kira kali
mati ternyata bukan. Kami justru menemukan belerang disana. Tapi setidaknya
kami dapat mengisi kembali botol kami yang telah kosong dengan air. Sebentar
beristirahat kami kembali menyisir naik dan melewati beberapa punggungan, jalur
berduri meninggalkan goresan goresan luka di tanggan. Kerudung saya pun ikut
menjadi keriting karena seringnya tersangkut di duri.
Pukul 15.00 WIB langit mulai berubah menjadi gelap membawa awan
mendung. Kami putuskan untuk menyisir turun menuju peradapan. Langkah kaki kami
semakin cepat ketiak guyuran air hujan membasahi tubuh lelah kami. Jalur
semakin licin, beberapa kali kami kehilangan kendali dan terjatuh. Goresan
kemadu menambah perihnya kulit ketika terkena air hujan. Mahrib hampir
menjelang dan kelelahan kami mulai terlihat, beberapa dari kami terkadang
meminta break sejenak.
Senyum merekah ketika kami sampai di perkebunan kopi, di
bawahnya menyambut kami pepohonan pinus. Ini berarti kalau kami telah dekat
dengan peradapan, walaupun kami belum bisa memastikan kami berada di daerah
mana. Kami menemukan sebuah warung pedagang, setelah berbincang dengan bu yudha
pemilik warung kami mengetahui kalau kami berada di klenting kuning Sumowono.
Kami mendapatkan tawaran untuk membersihkan diri di rumah beliau, dengan senang
hati kami menerima tawaran tersebut. Tidak hanya itu kakah beliau bu Hidayati
juga memberi kami tawaran untuk menginap di rumahnya. Karena pertimbangan tidak
adanya transportasi yang dapat kami tumpangi di malam seperti ini pada ahirnya
kami memututuskan untuk menginap semalam dan baru keesokan harinya kami
melanjutkan perjalanan.
Ulang tahun Jafar terpaksa kami rayakan dengan ala kadarnya,
jauh sekali dengan rencana kami sebelumnya. Dua potong kue dengan lilin
berangka 19 menjadi seremoni sederhana kami di rumah ibu Hidayati. Lagu happy
be day terucap lirih karena kami tidak ingin mengganggu keluarga ibu hidayati.
Perjalanan kami tidak berlanjut ke Jako, titik selanjutnya
yang akan kami capai setelah kali mati. Karena kami berada terlalu jauh dari
sana. Kami kemudian melakukan perjalanan kembali ke kampus tercinta POLINES. (
THE END )
Komentar
Posting Komentar